Wikipedia

Hasil penelusuran

Sabtu, 30 April 2016

TRINITAS

DUA PANDANGAN TENTANG TRINITAS

PANDANGAN IBNU HAZM
Ibnu Hazm sependapat dalam beberapa aspek dari tradisi kekristenan, seperti: penciptaan alam semesta, nabi – nabi yang diutus oleh Allah dan buku – buku/kitab – kitab yang diwahyukan (Injil, Taurat, dan Mazmur), namun tidak demikian halnya untuk konsep mengenai Allah yang ia jumpai dalam istilah “Tritunggal (Triunitas)”. Baginya, meskipun orang Kristen mengklaim diri sebagai orang – orang yang percaya pada keesaan Allah, pada nabi – nabi Israel, pada kitab – kitab yang diwahyukan, dan pada agama/iman Abraham, Ibnu Hazm tetap berpegang pada klasifikasinya dengan bertolak pada kepercayaan orang Kristen terhadap doktrin Trinitas.[1] Hal ini mengindikasikan bahwa Ibnu Hazm melihat adanya semacam “ketidaksadaran” di dalam diri orang Kristen, yang di satu sisi mengklaim diri sebagai umat dari Allah yang Esa, namun di sisi lain percaya pada Allah Tritunggal.
Pernyataan Ibnu Hazm tersebut tentu bukan sekedar pernyataan yang tidak memiliki dasar, sebab beliau adalah seorang yang terpelajar, dan studi analisisnya mengenai Perjanjian Baru memberikan indikasi bahwa ia memiliki pengetahuan yang baik tentang sumber – sumber utama kitab Perjanjian Baru tersebut, yakni kitab – kitab kanonik dan kitab – kitab apokrifa.[2] Selain itu, penggambaran yang ia berikan mengenai sekte – sekte  dalam kekristenan (Arian, Paulinist, Makedonia, Collyridians, dan sebagainya) juga memperjelas, bahwa ia memiliki pengetahuan mengenai sejarah dan perkembangan pengakuan iman dalam kehidupan orang Kristen, dan kontroversi yang terdapat di dalam sekte – sekte tersebut manakala mereka berbenturan dengan doktrin Trinitas. Ibnu sendiri mendasarkan kritik serta penolakannya terhadap doktrin Trinitas dan Inkarnasi. Ia mengatakan: “Orang – orang Kristen berpegang pada Allah yang mereka pahami terdiri dari tiga unsur: Bapa, Anak dan Roh Kudus, yang ketiganya adalah satu dan masing - masing sama dalam hal derajat (setara).
Namun baginya, pemikiran semacam ini adalah sebuah kebodohan, di mana jika tiga adalah satu dan sama derajatnya, sementara di dalam hubungan tersebut ada yang disebut sebagai ‘Bapa,’ yang kedua ‘Anak,’ dan yang ketiga ‘Roh Kudus’, maka jelaslah ada perbedaan di dalamnya. Bahkan, Perjanjian Baru menunjukkan kontradiksi terhadap pemahaman tersebut, ketika di dalamnya dituliskan perkataan Yesus: “Aku akan duduk di sebelah kanan Bapa-Ku” (Matius 24:36).[3] Jadi, Ibnu Hazm sama sekali tidak menemukan adanya pernyataan langsung dan jelas di dalam Kitab Suci orang Kristen yang mendukung doktrin Trinitas, dan secara tidak langsung situasi ini mempertegas intoleransinya terhadap ajaran tersebut.

PANDANGAN FRANS RONALD
Di Indonesia, seorang penganut Kristen Unitarian (Kristen Tauhid) bernama Frans Donald juga turut memberikan argumen penolakannya terhadap konsep Allah Tritunggal. Ia menegaskan bahwa Yesus bukanlah Allah itu sendiri, melainkan ciptaan yang memang memiliki kekhususan dan keistimewaan dibanding ciptaan – ciptaan yang lain. 1 Yohanes 5:7 yang diklaim kaum Trinitarian sebagai ayat yang mendukung konsep Trinitas, bagi Frans Donald merupakan sebuah kekeliruan, sebab menurutnya ayat tersebut hanyalah sisipan yang ditambahkan oleh oknum – oknum yang berupaya mengajarkan doktrin Trinitas.[4] Rupanya, pandangan Frans Donald tersebut didukung oleh para pakar Alkitab seperti: Romo Tom Jacobs (Guru Besar Emeritus Tafsir Kitab Suci, Sanata Dharma – Yogyakarta), dan Hortensius F. Mandaru, SSL. dari Lembaga Alkitab Indonesia. Dalam “Seminar Keilahian Yesus” yang digelar pada tanggal 28 April 2007 di Semarang, keduanya dengan tegas menyatakan bahwa pada naskah Alkitab yang lebih tua, ayat tersebut tidak ditemukan. Dan secara mengejutkan, seorang Teolog bernama Dr. Herbert W. Amstrong ternyata juga memberikan pandangan yang semakin menguatkan pendapat kedua pakar Alkitab tersebut, dengan menegaskan bahwa 1 Yohanes 5:7 adalah ayat yang ditambahkan ke dalam Alkitab edisi Vulgata Latin, ketika terjadi kontroversi panas antara Roma, Arius (pelopor Arianisme), dengan umat Allah.[5] Jadi, jelas terbukti bahwa konsep Allah Tritunggal atau Trinitas memang menjadi pokok perdebatan yang tiada habisnya, bahkan di kalangan Kristen itu sendiri.
Jika Frans Donald berusaha membuka rahasia yang terselubung di balik ayat pendukung Trinitas di atas, maka Ibnu Hazm berbicara dari sisi yang lain, namun tetap bertolak pada perspektif Alkitab. Ia sepenuhnya menyadari bahwa orang Kristen tidak mengklaim kitab – kitab Perjanjian Baru, khususnya keempat Injil, sebagai perkataan Yesus. Sebaliknya, mereka  lebih menganggap keempat Injil tersebut sebagai kisah yang ditulis oleh empat orang yang berbeda pada waktu yang berbeda pula. Mereka  (orang Kristen) mengklaim para penulis sebagai saksi mata, dan apa yang mereka (para saksi mata) tuliskan merupakan inspirasi dari Allah. Akan tetapi, adanya ketidak-konsistenan dan kontradiksi mengenai identitas penulis dan apa yang tertulis di dalam tiap – tiap kitab,  membuat Ibnu Hazm berpendapat bahwa kitab – kitab tersebut tidak dapat  dipandang sebagai  buku yang diinspirasi oleh Allah ataupun laporan dari para saksi mata. Tetapi lebih daripada itu, menurutnya isi dari keempat kitab maupun keseluruhan kitab dalam Perjanjian Baru merupakan campuran antara kebenaran dan kebohongan, dan sebuah distorsi yang disengaja mengenai fakta – fakta sejarah.[6] Kesimpulannya, kriteria yang digunakan Ibnu Hazm dalam mengukur kritikannya terhadap kitab suci, ialah: adanya pemahaman yang diterima secara umum, adanya konsistensi dan koherensi satu sama lain, keabsahan sejarah, dan adanya kecocokan dengan pengalaman yang berlaku secara menyeluruh mengenai pewahyuan/penyataan.[7]

KESIMPULAN
Aliquid quo nihil maius cogitari possit,  et quidem credimus te esse aliquid quo maius nihil cogitari possit. Cum igitur quandem die vehementer eius importunitati resistendo fatigarer, in ipso cogitationum conflictu sic se obtulit quod desperaveram, ut studiose cogitationem amplecterer, quam sollicitus repellebam.  Nullus intelligens id quod Deus est, potest cogitare quia Deus non est. (Anselmus: Fides Querrens Intelectum).
“Sesuatu yang (selain Dia) tiada yang lebih besar lagi (yang) dapat dipikirkan, sekarang kami percaya bahwa Engkau adalah sesuatu (yang Terluhur) dan tiada yang lebih luhur dapat dipikirkan (selain Engkau saja). Pada suatu hari ketika aku letih karena telah berupaya sekuat tenaga membebaskan diri dari pemikiran yang mengganggu itu, maka di tengah perselisihan paham di dalam diriku timbul sesuatu  yang sudah tidak aku harapkan lagi, sedemikian rupa sehingga dengan penuh semangat aku menggenggam hal-hal yang tadinya dalam kebingunganku terbuang tanpa mendapat perhatian. Tidak ada seorang pun yang mengerti Allah ada itu, yang dapat berpikir bahwa Allah tidak ada.” (Anselmus: Iman Mencari Pengertian).



         DAFTAR PUSTAKA
  
Haider Aasi, Ghulam. 2007. Muslim Understanding of Other Religions: A Study of Ibn Hazm’s Kitab al-Fasl fi al-Milal wa al-Ahwa’ wa al-Nihal. New Delhi: Adam Publisher & Distributors.
Donald, Frans. 2009. Menjawab Doktrin Tritunggal. Semarang: Borobudur Indonesia Publishing.







[1] Ghulam Haider, Aasi, Muslim Understanding of other Religious: A Study of Ibn Hazm’s Kitab al-Fasl fi al-Milal wa al-  Ahwa wa al-Nihal, New Delhi: Adam Publishers & Distributors, 2007, hal. 115.
[2] Ghulam Haider, Aasi, Muslim Understanding of other Religious: A Study of Ibn Hazm’s Kitab al-Fasl fi al-Milal wa al-  Ahwa wa al-Nihal, New Delhi: Adam Publishers & Distributors, 2007, hal. 116.
[3] Ibid., hal. 122-123.
[4] Frans, Donald, Menjawab Doktrin Tritunggal, Semarang: Borobudur Indonesia Publishing, 2009, hal. 33.
[5] Ibid., hal. 34.
[6] Ghulam Haider, Aasi, Muslim Understanding of other Religious: A Study of Ibn Hazm’s Kitab al-Fasl fi al-Milal wa al-  Ahwa wa al-Nihal, New Delhi: Adam Publishers & Distributors, 2007, hal. 117-118.
[7] Ibid., hal. 143.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar