AWAL MULA
SEKOLAH MINGGU
Pendirian Sekolah Minggu perlu diletakkan dalam konteks
permulaan Revolusi Industri di Inggris pada abad ke- 18. Pada waktu itu ada
begitu banyak penemuan yang memperbanyak reproduksi dengan menggantikan tenaga
manusia dan hewan dengan mesin uap. Tetapi hasil sampingannya, perubahan itu
cenderung meningkatkan kemiskinan di Inggris, karena keluarga dari
daerah-daerah pertanian berduyun-duyun masuk ke kota untuk bekerja dalam
pabrik-pabrik. Upahnya sangat rendah, sehingga tindak kejahatan “ringan” dan
berat bertambah. Alhasil, penjara-penjara pun dipenuhi dengan orang malang,
sementara sistem pengadilan yang ada tidak memperdayakan sebab-musabab orang
miskin jatuh ke dalam kejahatan.
Robert Raikes, seorang penerbit dari
Gloucester, Inggris, sering kali melawat narapidana di penjara dan mengarang
artikel yang menggambarkan keadaan mereka yang menyedihkan. Lambat-laun ia menarik
kesimpulan bahwa dengan perkunjungan saja akhlak orang dewasa tidak akan
diperbaiki; oleh karena itu, proyek memperhatikan akhlak perlu dimulai
dikalangan angkatan muda. Lalu, dengan pertolongan Pendeta Stock ia mendirikan
Sekolah Minggu bagi anak-anak miskin yang bekerja di pabrik selama enam hari
dalam seminggu. Hasilnya memuaskan, sehingga ia melaporkannya dalam surat
kabarnya. Dari permulaan yang sederhana itu gagasan Sekolah Minggu disambut
baik oleh banyak warga awam yang merasa sayang pada anak-anak yang akan jatuh
ke dalam kejahatan kalau mereka tidak menerima bimbingan dalam iman Kristen dan
dalam keterampilan membaca dan menulis. Boleh dikatakan bahwa Raikes berhasil
mempertemukan waktu yang peka itu dengan gagasannya cocok dengan kebutuhan keadaan.
Raikes sendiri bukanlah pemikir yang
berteori tentang asas pendidikan. Ia seorang praktisi yang melihat penyakit
sosial yang mengancam kewarasan masyarakat dan memprakarsai tindakan yang dapat
mengatasi sebagian dari masalah tersebut.
Walaupun sejumlah awam dan pendeta
melibatkan diri dalam urusan Sekolah Minggu, namun pemimpin Gereja Inggris dan
para penguasa merasa diri terancam oleh prakarsa untuk mendidik anak rakyat
jelata. Kalau anak-anak ini sudah mampu membaca dan menulis, maka mereka akan tidak
puas dengan penindasan yang merka alami setiap hari. Wakil kedua golongan ini
pernah mendorong Perdana Mentri Pitt untuk mempersiapkan perundang-undangan
yang akan melarang penyelenggaraan Sekolah Minggu beserta pendirian sekolah
baru. Untunglah usaha ini gagal dan Sekolah Minggu menerima dukungan dari raja
dan ratu Inggris sendiri.
Raiekes sendiri tidak jarang
mengambil bagian langsung dalam Sekolah Minggu. Ia mengunjungi sekolah dan
kadang-kadang mengajar anak-anak dengan alat peraga dan dengan mengajukan
pertanyaan yang memupuk pemikiran anak.
Anak didik Sekolah Minggu pertama
didik oleh seorang ibu di rumahnya. Raikes sendirilah yang membayar gajinya.
Kurikulumnya terdidi atas pengetahuan Alkitab, pelajaran katekismus dan
keterampilan membaca, menulis serta menghitung dalam taraf sederhana. Tetapi
sebelum usaha mengajar itu dapat berbuah baik, anak-anak yang kebanyakan
berakhlak buruk perlu belahar swadisiplin lebih dahulu. Kebaktian yang
berlangsung di gedung gereja adalah bagian integral dari pengalaman belajar
itu.
Pada masa awal Sekolah Minggu para
guru sendirilah yang menyediakan sumber-sumber pelajarannya, tetapi sesudah
banyak Sekolah Minggu didirikan, buku pelajaran pun diterbitkan. Buku yang paling
populer berjudul, Sahabat Bagi Anak Sekolah Minggu, yang berisi 120 lembar.
Bagian pertama terdiri dari abjad, daftar kata dan kalimat pendek, seperti
“Allah adalah Kasih”, “Tuhan semesta alam nama-Nya’. Kebanyakan isinya diambil
dari Alkitab, yang mendidik anak bertindak bertanggung jawab kepada Tuhan dan
sesamanya, dan tentunya sejarah penebusan umat manusia pun tidak dilalaikan. Di
samping itu, terdapat sejumlah peribahasa yang berasal dari kebudayaan
setempat.
Pengunjung Sekolah Minggu terkesan
dengan perubahan yang terjadi dalam diri anak didik. John Wesley mencatat
betapa indahnya suara anak Sekolah Minggu tatkala mereka menyanyi bersama.
Pada hari raya para pemimpin dan
dermawan Sekolah Minggu tidak hanya melakukan perjamuan bagi anak didik, tetapi
mereka juga melayani meja. Perjamuan ini, di samping memberi pengalaman baru
kepada anak dan para pemimpin dan dermawan, juga kesempatan bagi mereka yang
menyampaikan perasaannya kepada anak bahwa mereka berharga. Alhasil,
swacitranya semakin positif. Mereka tidak lagi melihat dirinya sebagai endapan
masyarakat yang tidak berharga.
Ada tidak sifat utama dari gerakan
Sekolah Minggu yang semula: pada pokoknya, Sekolah Minggu adalah gerakan kaum
awam, meskipun gereja sebagai pribadi juga terlibat. Kedua, organisasinya
cenderung hidup diluar struktur formal gereja. Dan ketiga, orang-orang yang
terlibat didalamnya lebih menitikberatkan pelayanan mendidik anak daripada
sinodenya. Dengan kata lain, gerakan Sekolah Minggu bersifat oikumenis, sebelum
istilah itu dipakai secara umum di antara gereja-gereja.
Sekolah Minggu bertumbuh pesat
karena telah memenuhi kebutuhan mendasar yang tidak dipenuhi oleh gerja formal.
Pada waktu Raikes meninggal, jumlah anak didik Sekolah Minggu di Inggris saja
sudah melebihi 400.000 orang.
Gagasan baik itu segera dibawa ke
Amerika: Di sana pada tahun 1790 empat orang dari empat gereja yang sangat
berbeda mendirikan Perserikatan Hari Pertama di kota Philadelphia. Sukses di
Amerika ini lebih gemilang lagi.
Untuk Sekolah Minggu pertama, bahan
pelajaran cenderung berasal dari Inggris meskipun keadaan di Amerika jauh
berbeda, khususnya karena di Inggris Sekolah Minggu melayani anak-anak yang
menjadi korban Revolusi Industri, sedangkan di Amerika kebanyakan anak yang
berasal dari kebudayaan daerah pertanian. Pada zaman tatkala jumlah besar
penghuni pesisir daerah timur menyebrangi pegunungan Appalachian untuk
menduduki bagian tengah Amerika, Sekolah Minggu menjadi salah satu lembaga
utama yang turut melayani kebutuhan rohani dan naluri padara pendatang itu.
Perserikatan Hari Pertama Amerika didirikan pada tahun 1830 dan bersemboyong
mendirikan satu Sekolah Minggu dalam setiap pelosok di daerh “Lembah Mississippi”.
Orang yang terlibat dalam Gerakan
Sekolah Minggu itu memiliki semangat yang besar. Mereka sedang mengambil bagian
dalam pelayanan yang mutlak penting. Mereka mendeirikan Sekolah Minggu, menjual
buku-buku dan tidak jarang Sekolah Minggu yang mereka dirikan bertumbuh menjadi
jemaat. Karena mereka haus akan persekuatuan orang-orang yang terlibat dalam
pelayanan yang sama, maka Perserikatan Sekolah Minggu pun didirikan untuk
setiap kabupaten, negara bagian dan untuk seluruh negeri. Masing-masing
organisasi tersebut mengandalkan hasil-hasil dari sidang raya yang diadakan setahun
sekali, dan sidang ini mendapat dukungan luar biasa. Di antara para pemimpin
yang terlibat dalam sidang-sidang raya tersebut dapat disebutkan para
pengusaha, walokota, gubernur, anggota DPR, bahkan presiden sendiri. Bahkan,
Kongres pernah menghentikan pembicaraan untuk berbaris bersama dengan para utusan
sidang raya nasional Sekolah Minggu.
Semangat anak didik dan peserta
Sekolah Minggu dipertinggi oleh nayanyian rohani yang dipakai. Mereka merasa
diri sedang dalam gerakan yang bermakna, sehingga mereka ingin sekali untuk
memuji Tuhan melalui musik. Banyak juga yang dipengaruhi oleh Kebangunan
(Revivalism) yang amat kuat di Amerika Serikat pada abad ke- 19. Pemimpin
Sekolah Minggu Amerika Serikat, sama seperti di Inggris, cenderung diambil dari
kaum awam, karena gerakannnya sendiri bertumbuh diluar struktur formal gereja.
Sama seperti di Inggris, gaya kerjanya pun bersifat oikumenis.
Pada tahun 1872 sidang raya nasional
mempelopori gagasan kurikulum Sekolah Minggu yang sama sekali baru, yaitu Seri
Mata Pelajaran yang Seragam. Entah peserta didik adalah berumur enam tahun,
atau peserta didik itu tinggal di kota atau di daerh pertanian, pada setiap
hari minggu ia bersama dengann rekannya dari tempat yang jauh atau yang dekat
akan memperlajari prikop yang sama dari Alkitab. Untuk pertama kalinya ada
kesatuan dan keterlibatan dalam hal kurikulum Sekolah Minggu. Tiga tahun
kemudian, sidang raya nasional itu diubah menjadi seidang raya internasional,
karena ada juga seorang utusan dari Kanada. Sukses yang tidak sedikit dari
Sekolah Minggu di Amerika pada abad pertamanya itu sangat ditentukan oleh
kepemimpinan yang bersemangat yang hidup dalam diri seorang awam, bernama
Benjamin Jacobs, meskipun ia lebih mengutamakan jumlah orang yang terlibat
ketimbang penilaian kritis dari tolok ukur pedagogis dan terologis.
Sejajar
dengan prestasi gemilang Sekolah Minggu di Amerika harus pula dicatat ketiga
kekurangannya: Sejak semula ia cenderung mngutamakan moralitas pribadi dan
ketidak adilan sosial yang tampak dalam masyarakat; kedua, nilai-nilai daerah
pertanian lebih berharga dai pada nilai-nilai kota; dan ketiga, teologi
perseorangan dianggap lebih penting ketimbang teologi gereja, dalam arti
Sekolah Minggu cenderung hidup berdampingan dengan gereja dari pada menjadi
bagian integral dari gereja formal
SUMBER
ROBERT R. BOEHLKE. 2011. Sejarah Perkembangan Pendidikan Dan Praktek Pendidikan Agama Kristen. Jakarta: Gunung Mulia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar