DUA PANDANGAN TENTANG TRINITAS
PANDANGAN IBNU HAZM
Ibnu
Hazm sependapat dalam beberapa aspek dari tradisi kekristenan, seperti:
penciptaan alam semesta, nabi – nabi yang diutus oleh Allah dan buku –
buku/kitab – kitab yang diwahyukan (Injil, Taurat, dan Mazmur), namun tidak
demikian halnya untuk konsep mengenai Allah yang ia jumpai dalam istilah “Tritunggal
(Triunitas)”. Baginya, meskipun orang Kristen mengklaim diri sebagai orang –
orang yang percaya pada keesaan Allah, pada nabi – nabi Israel, pada kitab –
kitab yang diwahyukan, dan pada agama/iman Abraham, Ibnu Hazm tetap berpegang
pada klasifikasinya dengan bertolak pada kepercayaan orang Kristen terhadap
doktrin Trinitas.[1] Hal ini
mengindikasikan bahwa Ibnu Hazm melihat adanya semacam “ketidaksadaran” di
dalam diri orang Kristen, yang di satu sisi mengklaim diri sebagai umat dari
Allah yang Esa, namun di sisi lain percaya pada Allah Tritunggal.
Pernyataan
Ibnu Hazm tersebut tentu bukan sekedar pernyataan yang tidak memiliki dasar,
sebab beliau adalah seorang yang terpelajar, dan studi analisisnya mengenai
Perjanjian Baru memberikan indikasi bahwa ia memiliki pengetahuan yang baik
tentang sumber – sumber utama kitab Perjanjian Baru tersebut, yakni kitab –
kitab kanonik dan kitab – kitab apokrifa.[2]
Selain itu, penggambaran yang ia berikan mengenai sekte – sekte dalam kekristenan (Arian, Paulinist,
Makedonia, Collyridians, dan sebagainya) juga memperjelas, bahwa ia memiliki
pengetahuan mengenai sejarah dan perkembangan pengakuan iman dalam kehidupan
orang Kristen, dan kontroversi yang terdapat di dalam sekte – sekte tersebut
manakala mereka berbenturan dengan doktrin Trinitas. Ibnu sendiri mendasarkan
kritik serta penolakannya terhadap doktrin Trinitas dan Inkarnasi. Ia
mengatakan: “Orang – orang Kristen berpegang pada Allah yang mereka pahami
terdiri dari tiga unsur: Bapa, Anak dan Roh Kudus, yang ketiganya adalah satu
dan masing - masing sama dalam hal derajat (setara).
Namun
baginya, pemikiran semacam ini adalah sebuah kebodohan, di mana jika tiga
adalah satu dan sama derajatnya, sementara di dalam hubungan tersebut ada yang
disebut sebagai ‘Bapa,’ yang kedua ‘Anak,’ dan yang ketiga ‘Roh Kudus’, maka
jelaslah ada perbedaan di dalamnya. Bahkan, Perjanjian Baru menunjukkan
kontradiksi terhadap pemahaman tersebut, ketika di dalamnya dituliskan
perkataan Yesus: “Aku akan duduk di sebelah kanan Bapa-Ku” (Matius 24:36).[3]
Jadi, Ibnu Hazm sama sekali tidak menemukan adanya pernyataan langsung dan
jelas di dalam Kitab Suci orang Kristen yang mendukung doktrin Trinitas, dan
secara tidak langsung situasi ini mempertegas intoleransinya terhadap ajaran
tersebut.
PANDANGAN FRANS RONALD
Di
Indonesia, seorang penganut Kristen Unitarian (Kristen Tauhid) bernama Frans
Donald juga turut memberikan argumen penolakannya terhadap konsep Allah
Tritunggal. Ia menegaskan bahwa Yesus bukanlah Allah itu sendiri, melainkan
ciptaan yang memang memiliki kekhususan dan keistimewaan dibanding ciptaan –
ciptaan yang lain. 1 Yohanes 5:7 yang diklaim kaum Trinitarian sebagai ayat
yang mendukung konsep Trinitas, bagi Frans Donald merupakan sebuah kekeliruan,
sebab menurutnya ayat tersebut hanyalah sisipan yang ditambahkan oleh oknum –
oknum yang berupaya mengajarkan doktrin Trinitas.[4]
Rupanya, pandangan Frans Donald tersebut didukung oleh para pakar Alkitab
seperti: Romo Tom Jacobs (Guru Besar Emeritus Tafsir Kitab Suci, Sanata Dharma
– Yogyakarta), dan Hortensius F. Mandaru, SSL. dari Lembaga Alkitab Indonesia.
Dalam “Seminar Keilahian Yesus” yang digelar pada tanggal 28 April 2007 di
Semarang, keduanya dengan tegas menyatakan bahwa pada naskah Alkitab yang lebih
tua, ayat tersebut tidak ditemukan. Dan secara mengejutkan, seorang Teolog
bernama Dr. Herbert W. Amstrong ternyata juga memberikan pandangan yang semakin
menguatkan pendapat kedua pakar Alkitab tersebut, dengan menegaskan bahwa 1
Yohanes 5:7 adalah ayat yang ditambahkan ke dalam Alkitab edisi Vulgata Latin,
ketika terjadi kontroversi panas antara Roma, Arius (pelopor Arianisme), dengan
umat Allah.[5] Jadi,
jelas terbukti bahwa konsep Allah Tritunggal atau Trinitas memang menjadi pokok
perdebatan yang tiada habisnya, bahkan di kalangan Kristen itu sendiri.
Jika
Frans Donald berusaha membuka rahasia yang terselubung di balik ayat pendukung
Trinitas di atas, maka Ibnu Hazm berbicara dari sisi yang lain, namun tetap
bertolak pada perspektif Alkitab. Ia sepenuhnya menyadari bahwa orang Kristen
tidak mengklaim kitab – kitab Perjanjian Baru, khususnya keempat Injil, sebagai
perkataan Yesus. Sebaliknya, mereka
lebih menganggap keempat Injil tersebut sebagai kisah yang ditulis oleh
empat orang yang berbeda pada waktu yang berbeda pula. Mereka (orang Kristen) mengklaim para penulis
sebagai saksi mata, dan apa yang mereka (para saksi mata) tuliskan merupakan
inspirasi dari Allah. Akan tetapi, adanya ketidak-konsistenan dan kontradiksi
mengenai identitas penulis dan apa yang tertulis di dalam tiap – tiap
kitab, membuat Ibnu Hazm berpendapat
bahwa kitab – kitab tersebut tidak dapat
dipandang sebagai buku yang
diinspirasi oleh Allah ataupun laporan dari para saksi mata. Tetapi lebih
daripada itu, menurutnya isi dari keempat kitab maupun keseluruhan kitab dalam
Perjanjian Baru merupakan campuran antara kebenaran dan kebohongan, dan sebuah
distorsi yang disengaja mengenai fakta – fakta sejarah.[6]
Kesimpulannya, kriteria yang digunakan Ibnu Hazm dalam mengukur kritikannya
terhadap kitab suci, ialah: adanya pemahaman yang diterima secara umum, adanya
konsistensi dan koherensi satu sama lain, keabsahan sejarah, dan adanya
kecocokan dengan pengalaman yang berlaku secara menyeluruh mengenai
pewahyuan/penyataan.[7]
KESIMPULAN
Aliquid quo nihil maius
cogitari possit, et quidem credimus te
esse aliquid quo maius nihil cogitari possit. Cum igitur quandem die vehementer
eius importunitati resistendo fatigarer, in ipso cogitationum conflictu sic se
obtulit quod desperaveram, ut studiose cogitationem amplecterer, quam
sollicitus repellebam. Nullus
intelligens id quod Deus est, potest cogitare quia Deus non est. (Anselmus:
Fides Querrens Intelectum).
“Sesuatu
yang (selain Dia) tiada yang lebih besar lagi (yang) dapat dipikirkan, sekarang
kami percaya bahwa Engkau adalah sesuatu (yang Terluhur) dan tiada yang lebih
luhur dapat dipikirkan (selain Engkau saja). Pada suatu hari ketika aku letih
karena telah berupaya sekuat tenaga membebaskan diri dari pemikiran yang
mengganggu itu, maka di tengah perselisihan paham di dalam diriku timbul
sesuatu yang sudah tidak aku harapkan
lagi, sedemikian rupa sehingga dengan penuh semangat aku menggenggam hal-hal
yang tadinya dalam kebingunganku terbuang tanpa mendapat perhatian. Tidak ada
seorang pun yang mengerti Allah ada itu, yang dapat berpikir bahwa Allah tidak
ada.” (Anselmus: Iman Mencari Pengertian).
DAFTAR PUSTAKA
Haider Aasi,
Ghulam. 2007. Muslim Understanding of Other Religions: A Study of Ibn Hazm’s
Kitab al-Fasl fi al-Milal wa al-Ahwa’ wa al-Nihal. New Delhi: Adam
Publisher & Distributors.
Donald, Frans. 2009. Menjawab Doktrin Tritunggal. Semarang:
Borobudur Indonesia Publishing.
[1]
Ghulam
Haider, Aasi, Muslim Understanding of
other Religious: A Study of Ibn Hazm’s Kitab al-Fasl fi al-Milal wa al- Ahwa wa al-Nihal, New Delhi: Adam
Publishers & Distributors, 2007, hal. 115.
[2]
Ghulam
Haider, Aasi, Muslim Understanding of other
Religious: A Study of Ibn Hazm’s Kitab al-Fasl fi al-Milal wa al- Ahwa wa al-Nihal, New Delhi: Adam
Publishers & Distributors, 2007, hal. 116.
[3]
Ibid., hal.
122-123.
[4]
Frans,
Donald, Menjawab Doktrin Tritunggal,
Semarang: Borobudur Indonesia Publishing, 2009, hal. 33.
[5]
Ibid., hal.
34.
[6]
Ghulam
Haider, Aasi, Muslim Understanding of
other Religious: A Study of Ibn Hazm’s Kitab al-Fasl fi al-Milal wa al- Ahwa wa al-Nihal, New Delhi: Adam
Publishers & Distributors, 2007, hal. 117-118.
[7]
Ibid., hal.
143.