Wikipedia

Hasil penelusuran

Senin, 02 Mei 2016

Telisik Agama Ed. 1

HANYA ORANG SALEH YANG TAHU

Sekarang aku hampir berusia 19 tahun, angka yang cukup untuk menggambarkan perjalanan hidup yang ku jalani. Selama itu pula aku terus mencari keberadaan-Mu, Engkau yang diakui dunia sebagai sang pemilik semesta. Sewaktu aku kecil, keluargaku mengenalkan ku kepada-Mu. Aku menerima setiap hal yang dibicarakan dan disampaikan tentang-Mu, walau aku tidak mengerti akan hal itu tapi kuterima dengan kepatuhan. Setiap hari-hari yang kulewati, aku menyaksikan banyak orang membicarakan-Mu, berdoa, bermohon kepada-Mu dan bahkan tak jarang aku menyaksikan di televisi orang-orang saling membunuh mengatas namakan-Mu. Sering kali aku menyempatkan diri untuk bertanya kepada orang-orang saleh tentang-Mu, banyak jawaban dan penjelasan panjang yang kuterima, tapi aku tidak cukup mengerti tentang semua itu. Sering kali aku disuguhkan cerita-cerita kehebatan dan keperkasaan-Mu yang membuat banyak orang mengagumi-Mu, tapi hal itu tidak cukup mengagumkan buat ku. Terkadang aku berpikir, Apakah aku yang terlalu bodoh untuk mengerti semua itu atau mereka yang terlalu pintar untuk menjelaskan kepada ku? Entahlah, sepertinya hanya orang salehlah yang tahu.....

Ketika libur sekolah tiba, seperti kebiasaan disetiap tahunnya aku pergi ke kampung untuk bertemu kakek dan nenek ku, dan di sana pun aku diperhadapkan dengan-Mu. Diwaktu-waktu tertentu aku diwajibkan untuk memberikan persembahan, ungkapan syukur dan melantunkan doa-doa kepada-Mu. Kali ini aku mulai berpikir keras, karena aku menyaksikan cara dan sikap yang berbeda dari orang-orang dikampung kepada-Mu. Aku bertanya kepada kakek tentang hal itu, ia menjawab "ini adalah ajaran nenek moyang kita", kebiasaan yang dilakukan turun-temurun. Aku pun tertarik untuk memperhatikan situasi yang ada, karena aku tidak pernah melihat hal ini di tempat tinggalku yang metropolitan. Di tempat tinggalku, aku menyaksikan orang-orang datang kepada-Mu di bangunan yang megah, dengan pakaian, perhiasaan, kendaraan yang mewah dan memberikan uang sebagai persembahan dan ungkapan syukur untuk-Mu. Di kampung kakek, aku melihat orang datang di pohon atau bebatuan yang besar, dengan pakaian sederhana, tanpa perhiasan, apalagi kendaraan yang mewah dan memberikan hasil ladang atau ternak mereka sebagai persembahan dan ungkapan syukur untuk-Mu. Aku mulai heran dan mempertanyakan diri-Mu, Apakah Engkau sosok yang penuh dengan kemewahan dan hanya layak untuk orang-orang mampu atau Engkau sosok yang penuh dengan kesederhanaan dan hanya untuk oarang-orang biasa? Entahlah, sepertinya hanya orang-orang salehlah yang tahu.....

Setelah menyaksikan semua itu, akhirnya aku mulai mengerti dan berkesimpulan bahwa, Engkau adalah sosok yang berbeda. Engkau yang ada di tempat tinggal ku adalah Engkau yang mewah dan Engkau yang ada di kampung kakek adalah Engkau yang sederhana. Jadi, sosok yang mana yang diakui orang-orang sebagai pemilik semesta ini? ataukah hanya orang salehlah yang tahu.....


Bersambung....

Sabtu, 30 April 2016

TRINITAS

DUA PANDANGAN TENTANG TRINITAS

PANDANGAN IBNU HAZM
Ibnu Hazm sependapat dalam beberapa aspek dari tradisi kekristenan, seperti: penciptaan alam semesta, nabi – nabi yang diutus oleh Allah dan buku – buku/kitab – kitab yang diwahyukan (Injil, Taurat, dan Mazmur), namun tidak demikian halnya untuk konsep mengenai Allah yang ia jumpai dalam istilah “Tritunggal (Triunitas)”. Baginya, meskipun orang Kristen mengklaim diri sebagai orang – orang yang percaya pada keesaan Allah, pada nabi – nabi Israel, pada kitab – kitab yang diwahyukan, dan pada agama/iman Abraham, Ibnu Hazm tetap berpegang pada klasifikasinya dengan bertolak pada kepercayaan orang Kristen terhadap doktrin Trinitas.[1] Hal ini mengindikasikan bahwa Ibnu Hazm melihat adanya semacam “ketidaksadaran” di dalam diri orang Kristen, yang di satu sisi mengklaim diri sebagai umat dari Allah yang Esa, namun di sisi lain percaya pada Allah Tritunggal.
Pernyataan Ibnu Hazm tersebut tentu bukan sekedar pernyataan yang tidak memiliki dasar, sebab beliau adalah seorang yang terpelajar, dan studi analisisnya mengenai Perjanjian Baru memberikan indikasi bahwa ia memiliki pengetahuan yang baik tentang sumber – sumber utama kitab Perjanjian Baru tersebut, yakni kitab – kitab kanonik dan kitab – kitab apokrifa.[2] Selain itu, penggambaran yang ia berikan mengenai sekte – sekte  dalam kekristenan (Arian, Paulinist, Makedonia, Collyridians, dan sebagainya) juga memperjelas, bahwa ia memiliki pengetahuan mengenai sejarah dan perkembangan pengakuan iman dalam kehidupan orang Kristen, dan kontroversi yang terdapat di dalam sekte – sekte tersebut manakala mereka berbenturan dengan doktrin Trinitas. Ibnu sendiri mendasarkan kritik serta penolakannya terhadap doktrin Trinitas dan Inkarnasi. Ia mengatakan: “Orang – orang Kristen berpegang pada Allah yang mereka pahami terdiri dari tiga unsur: Bapa, Anak dan Roh Kudus, yang ketiganya adalah satu dan masing - masing sama dalam hal derajat (setara).
Namun baginya, pemikiran semacam ini adalah sebuah kebodohan, di mana jika tiga adalah satu dan sama derajatnya, sementara di dalam hubungan tersebut ada yang disebut sebagai ‘Bapa,’ yang kedua ‘Anak,’ dan yang ketiga ‘Roh Kudus’, maka jelaslah ada perbedaan di dalamnya. Bahkan, Perjanjian Baru menunjukkan kontradiksi terhadap pemahaman tersebut, ketika di dalamnya dituliskan perkataan Yesus: “Aku akan duduk di sebelah kanan Bapa-Ku” (Matius 24:36).[3] Jadi, Ibnu Hazm sama sekali tidak menemukan adanya pernyataan langsung dan jelas di dalam Kitab Suci orang Kristen yang mendukung doktrin Trinitas, dan secara tidak langsung situasi ini mempertegas intoleransinya terhadap ajaran tersebut.

PANDANGAN FRANS RONALD
Di Indonesia, seorang penganut Kristen Unitarian (Kristen Tauhid) bernama Frans Donald juga turut memberikan argumen penolakannya terhadap konsep Allah Tritunggal. Ia menegaskan bahwa Yesus bukanlah Allah itu sendiri, melainkan ciptaan yang memang memiliki kekhususan dan keistimewaan dibanding ciptaan – ciptaan yang lain. 1 Yohanes 5:7 yang diklaim kaum Trinitarian sebagai ayat yang mendukung konsep Trinitas, bagi Frans Donald merupakan sebuah kekeliruan, sebab menurutnya ayat tersebut hanyalah sisipan yang ditambahkan oleh oknum – oknum yang berupaya mengajarkan doktrin Trinitas.[4] Rupanya, pandangan Frans Donald tersebut didukung oleh para pakar Alkitab seperti: Romo Tom Jacobs (Guru Besar Emeritus Tafsir Kitab Suci, Sanata Dharma – Yogyakarta), dan Hortensius F. Mandaru, SSL. dari Lembaga Alkitab Indonesia. Dalam “Seminar Keilahian Yesus” yang digelar pada tanggal 28 April 2007 di Semarang, keduanya dengan tegas menyatakan bahwa pada naskah Alkitab yang lebih tua, ayat tersebut tidak ditemukan. Dan secara mengejutkan, seorang Teolog bernama Dr. Herbert W. Amstrong ternyata juga memberikan pandangan yang semakin menguatkan pendapat kedua pakar Alkitab tersebut, dengan menegaskan bahwa 1 Yohanes 5:7 adalah ayat yang ditambahkan ke dalam Alkitab edisi Vulgata Latin, ketika terjadi kontroversi panas antara Roma, Arius (pelopor Arianisme), dengan umat Allah.[5] Jadi, jelas terbukti bahwa konsep Allah Tritunggal atau Trinitas memang menjadi pokok perdebatan yang tiada habisnya, bahkan di kalangan Kristen itu sendiri.
Jika Frans Donald berusaha membuka rahasia yang terselubung di balik ayat pendukung Trinitas di atas, maka Ibnu Hazm berbicara dari sisi yang lain, namun tetap bertolak pada perspektif Alkitab. Ia sepenuhnya menyadari bahwa orang Kristen tidak mengklaim kitab – kitab Perjanjian Baru, khususnya keempat Injil, sebagai perkataan Yesus. Sebaliknya, mereka  lebih menganggap keempat Injil tersebut sebagai kisah yang ditulis oleh empat orang yang berbeda pada waktu yang berbeda pula. Mereka  (orang Kristen) mengklaim para penulis sebagai saksi mata, dan apa yang mereka (para saksi mata) tuliskan merupakan inspirasi dari Allah. Akan tetapi, adanya ketidak-konsistenan dan kontradiksi mengenai identitas penulis dan apa yang tertulis di dalam tiap – tiap kitab,  membuat Ibnu Hazm berpendapat bahwa kitab – kitab tersebut tidak dapat  dipandang sebagai  buku yang diinspirasi oleh Allah ataupun laporan dari para saksi mata. Tetapi lebih daripada itu, menurutnya isi dari keempat kitab maupun keseluruhan kitab dalam Perjanjian Baru merupakan campuran antara kebenaran dan kebohongan, dan sebuah distorsi yang disengaja mengenai fakta – fakta sejarah.[6] Kesimpulannya, kriteria yang digunakan Ibnu Hazm dalam mengukur kritikannya terhadap kitab suci, ialah: adanya pemahaman yang diterima secara umum, adanya konsistensi dan koherensi satu sama lain, keabsahan sejarah, dan adanya kecocokan dengan pengalaman yang berlaku secara menyeluruh mengenai pewahyuan/penyataan.[7]

KESIMPULAN
Aliquid quo nihil maius cogitari possit,  et quidem credimus te esse aliquid quo maius nihil cogitari possit. Cum igitur quandem die vehementer eius importunitati resistendo fatigarer, in ipso cogitationum conflictu sic se obtulit quod desperaveram, ut studiose cogitationem amplecterer, quam sollicitus repellebam.  Nullus intelligens id quod Deus est, potest cogitare quia Deus non est. (Anselmus: Fides Querrens Intelectum).
“Sesuatu yang (selain Dia) tiada yang lebih besar lagi (yang) dapat dipikirkan, sekarang kami percaya bahwa Engkau adalah sesuatu (yang Terluhur) dan tiada yang lebih luhur dapat dipikirkan (selain Engkau saja). Pada suatu hari ketika aku letih karena telah berupaya sekuat tenaga membebaskan diri dari pemikiran yang mengganggu itu, maka di tengah perselisihan paham di dalam diriku timbul sesuatu  yang sudah tidak aku harapkan lagi, sedemikian rupa sehingga dengan penuh semangat aku menggenggam hal-hal yang tadinya dalam kebingunganku terbuang tanpa mendapat perhatian. Tidak ada seorang pun yang mengerti Allah ada itu, yang dapat berpikir bahwa Allah tidak ada.” (Anselmus: Iman Mencari Pengertian).



         DAFTAR PUSTAKA
  
Haider Aasi, Ghulam. 2007. Muslim Understanding of Other Religions: A Study of Ibn Hazm’s Kitab al-Fasl fi al-Milal wa al-Ahwa’ wa al-Nihal. New Delhi: Adam Publisher & Distributors.
Donald, Frans. 2009. Menjawab Doktrin Tritunggal. Semarang: Borobudur Indonesia Publishing.







[1] Ghulam Haider, Aasi, Muslim Understanding of other Religious: A Study of Ibn Hazm’s Kitab al-Fasl fi al-Milal wa al-  Ahwa wa al-Nihal, New Delhi: Adam Publishers & Distributors, 2007, hal. 115.
[2] Ghulam Haider, Aasi, Muslim Understanding of other Religious: A Study of Ibn Hazm’s Kitab al-Fasl fi al-Milal wa al-  Ahwa wa al-Nihal, New Delhi: Adam Publishers & Distributors, 2007, hal. 116.
[3] Ibid., hal. 122-123.
[4] Frans, Donald, Menjawab Doktrin Tritunggal, Semarang: Borobudur Indonesia Publishing, 2009, hal. 33.
[5] Ibid., hal. 34.
[6] Ghulam Haider, Aasi, Muslim Understanding of other Religious: A Study of Ibn Hazm’s Kitab al-Fasl fi al-Milal wa al-  Ahwa wa al-Nihal, New Delhi: Adam Publishers & Distributors, 2007, hal. 117-118.
[7] Ibid., hal. 143.

MANUSIA MATI SEUTUHNYA : Pandangan Suku Toraja dan Alkitab

MANUSIA MATI SEUTUHNYA

I.                   POTRET MANUSIA TORAJA
            Sebelum melakukan pengkajian lebih mendalam lagi terkait tema yang akan dibahas, maka perlu kita mengetahui terlebih dahulu historis dan konteks masyarakat Toraja yang menajadi objek pembahasan. Untuk itu dalam poin ini, saya akan memaparkannya secara umum.
I.1.       Asal  Manusia Toraja
Berdasarkan sumber bacaan yang ada, ada beberapa persamaan dan perbedaan mengenai asal manusia Toraja. Saya tertarik dengan buku ‘Manusia Mati Seutuhnya’, yang ditulis Andarias Kabanga’, beliau memulainya dengan menelusuri karya sastra Toraja mengenai asal manusia yang sering disinggung oleh tominaa[1] dalam upacara merok[2], yaitu suatu upacara pengucapan syukur.[3] Kata – kata yang biasa diungkapkan adalah sebagai berikut:
Umbalianganmi batu ba’tangna Puang Matua lan
tangana langi’ sola Arrang Dibatu, umbi’bi’mi
karangan inaanna to Kaubanan sola Sulo Tarongko
Malia’ lan una’na to paonganan.

Digaragammi kurin-kurin batu bulaan tasak,
ditampami gusi malia’ nane’ tang karauan.
Dipabendanmi sauan sibarrung lan tangngana langi’
Dipatunannangmi suling pada dua lan masuanggana to Paonganan.
Dibolloan barra’mi bulaan matasak tama sauan sibarrung,
dibuka amborammi nane’ tang karauan tama suling pada dua.
Dadimi to sanda karua lanmai sauan sibarrung,
anakna sauan sibarrung takkomi to ganna’
bilanganna lanmi suling pada dua, bungsonna suling pada dua.

Didandan bulaanmi to sanda karua dio salianna sauan
sibarrung dibato’ batan-batanmi to ganna bilanganna
lanmai suling pada dua, bungsonna suling pada dua.

Kasallemi to sanda karua, lobo’ garaganna to ganna’
bilanganna. Apa nene’ta manna Datu Lauku’
Ma’rupa tau.

Pada umposangami sanganna to sanda karua,
Pada umpopa’gantimi pa’gantiananna to ganna’
bilanganna.

Disangami Datu Laukku’, diganti Datu baine,
Disangami Allo tiranda, nene’ne ipo.

Disangami laungku, nene’na kapa’ disangami Pong
pirik-pirik, nene’na uruan.

Disangami Menturiri, nene’na manuk, disangami
Manturiri, nene’na tedong.
Disangami Riako’, nene’na bassi,
Disangami Takkebuku, nene’na bo’bo’.

Artinya:
            Konon, berpikir-pikirlah Puang Matua bersama
            Arrang Dibatu di tengah langit, berangan-
            anganlah to Kaubanan bersama Sulo Tarongko
            Malia di Cakrawala.
            Dibentuklah emas menyerupai belanga,
            Ditempahlah lempengan berlian murni tanpa
            Campuran lain.
            Maka didirikanlah puputan kembar di tengah la-
ngit,
            Dibangunlah seruling kembar di tempat pelindung bumi.
            Maka dimasukkanlah emas tulen kedalam pupu-
tan kembar,
            Dihambur benihlah permata murni  ke dalam se-
ruling ganda.
Lahirlah delapan bersaudara dari puputan kem-
Bar, anak perempuan kembar, keluarlah (8 mak-
hluk) bilangan genap di samping seruling ganda yang keluar
dari seruling ganda.
Maka bertumbuhlah delapan bersaudara, semakin
besarlah (makhluk) bilangan genap mendapat
gelar.
Masing-masing delapan bersaudara memperoleh
namanya, tiap-tiap (makhluk) bilangan genap
mendapat gelar.
Leluhur manusia dinamai Datu Laukku’, digelar
Datu Baine,
Leluhur ipuh dinamai Pong Pirik-Pirik.
Leluhur kapas dinamai Laungku,
Leluhur hujan dinamai Pong Pirik-Pirik.
Leluhurnya ayam dinamai Menturiri, leluhur kerbau
dinamai Manturiri.
Maka leluhur besi dinamai Riako’, leluhurnya pada di-
namai Takkebuku.

Dalam mitologi Toraja, keturunan Datu Laukku’ adalah yang pertama kali turun ke bumi, namanya Puang Buralangi’.[4] Setelah mendiami bumi, dari keluarga Pong Mulatau, lahirlah Londong Dilangi’ dan Londong Dirura.[5] Tempat bermukimnya manusia dari langit tercebut adalah di Bambapuang.[6] Lama-kelamaan manusia yang berkembang di Rura menjadi semakin banyak.[7]
Gelar leluhur Toraja disebut dengan gelar To Manurun di langi To Bu’tu ri Uai na To sae dio mai Engkokna padang dengan silsilah:
           Puang Bura Langi
           Kombong di Bura
            Pong Mula Tau
             Sanda Bilik
          Londong di Rura
          Sa’pang ri Bamban
         Londong di Langi’
      Tumba’ Rangga Tana
            Bobong Bulaan
       Salampe’ Manikna



I.2.       Konsep Kematian Manusia Toraja
Menurut konsep kematian alu’ todolo[8] Toraja, walaupun seseorang sudah tidak bernafas dan jantung tidak berdetak lagi (hilangnya tanda-tanda kehidupan), belum dapat dianggap mati jikalau belum melakukan ritual kematian atau upacara alu’ rambu solo’[9]. Upacara ini memiliki banyak bentuk, dan dibedakan berdasarkan umur dan status sosial mendiang. Secara umum upacara tersebut dibagi  dalam empat kelompok[10], yaitu:
·         Aluk pia (upacara anak-anak), tingakat sederhana, tingkat menengah dan upacara tingkat tinggi.
·         Dipa sang Bongi (upacara to buda atau orang kebanyakan), tingkat sederhana, upacaranya hanya berlangsung satu malam.
·         Dibatang (upacara golongan orang merdeka dan bangsawan yang tidak mempunyai banyak harta) tingakt menengah, harus ada kerbau yang disembelih dan acara dilaksanakan sekurang-kurangnya tiga malam.
·         Dirapa’i (upacara bangsawan dan kaya), tingkat tinggi, nelibatkan masyarakat secara luas dan dihadiri oleh ribuan orang.

Upacara alu’ rambu solo’ memiliki aturan yang baku, dan dilandasi dengan kepercayaan dan keyakinan kepada arwah para leluhur yang bisa dikategorikan warisan alu’ todolo atau biasa disebut alu’ sanda pitunna (7777777).[11] Pada prinsipnya aturan itu mencakup aspek-aspek tentang kehidupan manusia, aturan pemujaan kepada Puang Matua (sang Pencipta), aturan tentang bagaimana menyembah kepada sang pemelihara (kepada dewata-dewata), dan aturan tentang bagaimana menyembah atau pemujaan kepada leluhur sebagai pengawas dan pemberi berkat kepada turunannya.[12] Pemujaan kepada leluhur itulah yang dikenal dalam masyarakat Toraja, sebagai persembahan kepada arwah leluhur atau To Membali Puang (menjadi ilahi).[13]

2.         POTRET MANUSIA BERDASARKAN ALKITAB
            Setelah kita mengetahui konsep manusia dan kematian manusia Toraja, maka kita juga akan mencaritahu mengenai konsep manusia berdasarkan Alkitab. Hal ini perlu untuk dilakukan, agar kedudukan dari keduanya dapat dicapai dengan baik.
2.1.      Asal Manusia Alkitab
            Kej. 1:26,27 mengatakan, bahwa Tuhan Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya.[14] Berdasarkan pernyataan dalam Kej. 5:1; 9:6; Yak. 3:9 dan I Kor. 11:7, yang mengatakan bahwa manusia adalah gambar Allah, dan bahwa di lain pihak Ef. 4:24 dan Kol. 3:10 mengatakan, bahwa manusia berdosa perlu diperbaharui untuk menjadi segambar degan Allah.[15] Menurut H. Bavinck, menyebut gambar Allah yang masih dimiliki manusia setelah ia jatuh dalam dosa itu “ gambar Allah dalam arti yang lebih luas. Gambar Allah yang lebih luas atau yang umum adalah: pri kemanusiaan, yaitu keadaan manusia sebagai manusia, yang membedakan manusia dari pada binatang dan makhluk-makhluk lainnya, yaitu bahwa manusia memiliki akal-budi dan kehendak.
            Menurut Calvin, manusia yang tahu akan dirinya tidak dapat melepaskan pengetahuannya akan Allah.[16] Manusia adalah tselem[17] dan demuth[18] dari Allah, artinya hakikat manusia yang tidak dapat berubah tetapi sefatnya berubah-ubah[19]. Dengan ungkapan yang tegas ia mengatakan:
Man’s true knowledge of himself is reflexive of his
knowledge of God. He is made to know God, and to live
in dependence on God’s grace. Therefore, only when a
man so respond to the word of grace that he becomes
what be is made to be, can he begin to know his true nature.

Mengenai hubungan antara jiwa dan roh, Calvin tidak memberikan perbedaan yang jelas. Bahkan ia sendiri cenderung menyamakannya. Persepsinya diungkapkan sebagai berikut :
            spiritus and anima, are frequently used promiscue in the
            Holy Scripture. Often the soul is also called spirit, and...
            Spirit whwn occuring singly means the same as soul.
           
Ungkapan tersebut lebih menekankan sisi batiniah manusia, walau pergulatan yang terjadi pada diri manusia itu mengandung dosa. Posisi ini tidak dapat dilepaskan melalui Yesus sebagai bukti kasih Allah, mendamaikan manusia yang berdosa dengan Allah yang kudus. Demi kehidupan manusia yang lebih baik dan benar di hadapan Allah.
2.2.      Konsep Kehidupan Stelah Kematian Alkitab[20]
            Perjanjian Lama mengajarkan bahwa kehidupan setelah kematian itu ada. Dikatakan bahwa semua orang akan turun ke Syeol, dunia orang mati (Hades dalam Perjanjian Baru). Orang fisik, tentu saja, pergi ke situ (Mzm. 9:18; 31:18; 49:15; Yes. 5:14). Dikatakan bahwa Korah, Datan dan Abiram telah hidup-hidup ke Syeol (Bil. 16:33). Akan tetapi, orang-orang yang benar juga pergi ke situ (Ayb. 14:13; 17:16; Mzm. 6:6; 16:10; 88:4). Yakub menantikan saatnya dia bisa pergi ke anaknya Yusuf di Syeol (Kej. 37:35;). Raja Hizkia memandang kematian sebagai memasuki “pintu gerbang dunia orang mati [Syeol]” (Yes. 38:10). Pikiran pergi ke Syeol nampaknya juga terdapat di dalam ungkapan sering dipakai, yaitu “dikumpulkan kepada kaum leluhurnya” (Kej. 25:8, 17; 35:29; 49:33; Bil. 20:24; 27:13; Ul. 32:50; Hakim-Hakim 2:10).
            Juga dalam Perjanjian Baru, orang fasik dengan benar digambarkan sebagai turun ke Hades sebelum peristiwa kebangkitan Tuhan Yesus. Orang kaya dalam perumpamaan Lazarus dikatakan pergi ke Hades (alam maut). Di Hades ia dan Lazarus dapat berbicara satu degan yang lain (Luk. 16:19-31). Yesus sendiri turun ke Hades (Kis 2:27, 31). Kristus kini memiliki kunci maut dan kerajaan maut (Hades) (Wahyu 1:18), dan pada suatu saat kelak keduanya akan menyerahkan orang-orang mati yang ada di dalamnya (Wahyu 20:13, 14). Istilah “Hades” (didunia orang mati, alam maut, kerajaan maut) dipakai sebanyak sepuluh kali dalam Perjanjian Baru (Mat. 11:23, 16:18; Luk. 10:15; 16:23; Kis. 2:27, 31; Why. 1:18; 6:8; 20:13, 14). Kedua kata ini, Syeol dalam Perjanjian Lama dan Hades dalam Perjanjian Baru, diakui oleh semua sarjana sebagai kata-kata yang tepat sama artinya.
            Jadi, kalau Alkitab mengajarkan bahwa ada kehidupan setelah kematian, apakah itu kehidupan secara sadar? Hanya penyataan illahi yang dapat menerangkan sifat sesungguhnya dari kehidupan setelah kematian.


DAFTAR PUSTAKA

Kobong Theodorus, 2008. INJIL dan TONGKONAN, Jakarta: Gunung Mulia.
Kabanga’Andarias, 2002. MANUSIA MATI Seutuhnya, Yogyakarta: Media Presindo.
Tulak Daniel, 1999. Amanah dan Pesan Leluhur Toraja, SULO Rantepao.
Natsir Sitonda Mohammad, 2007. TORAJA Warisan Dunia, Pustaka Refleksi.
Hadiwijono Harun, 2012. .Iman Kristen, Jakarta: Gunung Mulia.
Thiessen Henry. C, 2010. Teologi Sistematika, Gandum Mas.
Boland B. J, 2011. Intisari Iman Kristen, Jakarta: Gunung Mulia.



[1] Tominaa mempunyai peranan yang mirip imam dalam Perjanjian Lama, karena dialah yang memimpin ritus penyembahan kepada dewata, leluhur bahkan kepada yang dianggap Allah.
[2] Istilah Merok berasal dari kata rok= rauk yang artinya “tombak”. Merok adalah suatu pesta pengucapan syukur akbar kepada dewata dan Puang Matua. Dalam upacara tersebut kerbau dibantai, dan sebelum dibantai disucikan terlebih dahulu oleh tominaa dengan mempergunakan tombak. Kerbau adalah binatang yang tertinggi nilainya dalam hal pemberian persembahan kepada sang ilahi. Bdk. Theodorus Kobong, INJIL dan TONGKONAN, Jakarta: Gunung Mulia, 2008, hlm. 55.
[3] Lih: Andarias Kabanga’, MANUSIA MATI Seutuhnya, Yogyakarta: Media Presindo, 2002, hlm. 2-5.
[4] Ibid., hlm. 5. Menurut mitologi Toraja, ketika Puang Buralangi’ masih berada di langit, ia membuka pintu langit dan memandang ke bawah dan melihat bayangan manusia yaitu bayangan dirinya sendiri. Oleh karena itu ia turun ke bawah yakni ke bumi. Setelah tiba di bumi, Puang Buralangi’ kawin dengan seorang putri illahi yang berasal dari perut bumi namanya Kembong Bura. Lih: hlm. 46.
[5] Ibid., hlm. 5. Ada juga yang menyebut nama anak-anak Pong Mulatau dengan nama Puang Londong Dilangi’ dan Puang Londong Dirura. Lih: hlm. 46.
[6] Ibid., hlm. 5. Bambapuang adalah suaru kawasan yang terletak antara Kabupaten Enrekang dan Kabupaten Tana Toraja Sulawesi Selatan. Lokasi tersebut masih ada sampai sekarang, yang terletak di pinggir jalan (sekitar Km 270) dari Ujung Pandang ke Tanah Toraja.
[7] Ibid., hlm. 5. Bdk. Daniel Tulak, Amanah dan Pesan Leluhur Toraja, SULO Rantepao, 1999, hlm. 1.
[8] Alu’ berarti keyakinan atau aturan; todolo berarti terdahulu, warisan leluhur, berarti keyakinan yang diterapkan secara turun-temurun. Penjelasan tersebut diartikan oleh penulis dengan bantuan dari rekan-rekan yang adalah orang Toraja sendiri.
[9] Alu’ rombo solo’ dalam bahasa Toraja, adalah Aluk Rampe Matampe’, yakni aluk berarti keyakinan, aturan; rampe berarti sebelah, bahagian; matampu’ berarti barat. Jadi Aluk Rampe Matampu’ berarti upacara yang dilakukan pada sebelah barat dari rumah atau tongkonan (Tongkonan, sebutan Rumah Adat di Tana Toraja) Lih: Mohammad Natsir Sitonda, TORAJA Warisan Dunia, Pustaka Refleksi, 2007, hlm. 47-48.
[10] Op.Cit., Manusia Mati Seutuhnya, hlm. 22-29.
[11] Lih. Op.Cit., Injil dan Tongkonan, hlm. 45. Bdk. Op.Cit., Amanah dan Pesan Leluhur Toraja, hlm. 41. Kedua buku ini memiliki kesamaan dalam menetapkan adanya angka tujuh yang berjumlah tujuh. Bdk. Op.Cit., TORAJA Warisan Dunia, hlm. 49. Hanya menggunakan empat angka tujuah.
[12] Op.Cit., TORAJA Warisan Dunia, hlm. 49.
[13] Lih. MANUSI MATI Seutuhnya, hlm. 35-36. Konsep inilah yang menjadi dasar keselamatan dalam alu’ todolo. Setelah jenazah seorang dimasukkan ke liang kubur, maka jiwa manusia akan beralih dari dunia ini menuju ke Puya. Sebenarnya Puya hanyalah terminal sementara bagi jiwa; karena jiwa dapat keluar dari Puya dan menuju ke asal nenek moyang  manusia, yakni langit. Langit adalah suatu tempat di atas bumi ini, yaitu tempat di mana Puang Matua dan dewata lain berkediaman.
[14] Harun Hadiwijono, Iman Kristen, Jakarta: Gunung Mulia, 2012, hlm. 189. Alkitab secara jelas mengajarkan bahwa seluruh umat manusia adalah keturunan satu pasangan tunggal (Kej. 1:27, 28; 2:7, 22; 3:20; 9:19). Semua manusia merupakan keturunan dari orang tua yang sama dan memiliki watak yang sama. Lih. Henry. C. Thiessen, Teologi Sistematika, Gandum Mas, 2010, hlm. 241.
[15] Ibid., hlm. 190. Bdk. B. J. Boland, Intisari Iman Kristen, Jakarta: Gunung Mulia, 2011, hlm. 25.
[16] Op.Cit., MANUSIA MATI Seutuhnya, hlm. 82.
[17] Tselem berarti ‘gambar’.
[18] Demuth berarti ‘rupa”.
[19] Lih. Iman Kristen, hlm. 190. Bdk. MANUSIA MATI Seutuhnya, hlm. 82.
[20] Pemaparan seluruhnya dalam bagian ini, penulis mengutip secara utuh. Lih. Op.Cit., Teologi Sistematika, hlm.590-592.

Sekolah Minggu

AWAL MULA SEKOLAH MINGGU
            
            Pendirian Sekolah Minggu perlu diletakkan dalam konteks permulaan Revolusi Industri di Inggris pada abad ke- 18. Pada waktu itu ada begitu banyak penemuan yang memperbanyak reproduksi dengan menggantikan tenaga manusia dan hewan dengan mesin uap. Tetapi hasil sampingannya, perubahan itu cenderung meningkatkan kemiskinan di Inggris, karena keluarga dari daerah-daerah pertanian berduyun-duyun masuk ke kota untuk bekerja dalam pabrik-pabrik. Upahnya sangat rendah, sehingga tindak kejahatan “ringan” dan berat bertambah. Alhasil, penjara-penjara pun dipenuhi dengan orang malang, sementara sistem pengadilan yang ada tidak memperdayakan sebab-musabab orang miskin jatuh ke dalam kejahatan.
            Robert Raikes, seorang penerbit dari Gloucester, Inggris, sering kali melawat narapidana di penjara dan mengarang artikel yang menggambarkan keadaan mereka yang menyedihkan. Lambat-laun ia menarik kesimpulan bahwa dengan perkunjungan saja akhlak orang dewasa tidak akan diperbaiki; oleh karena itu, proyek memperhatikan akhlak perlu dimulai dikalangan angkatan muda. Lalu, dengan pertolongan Pendeta Stock ia mendirikan Sekolah Minggu bagi anak-anak miskin yang bekerja di pabrik selama enam hari dalam seminggu. Hasilnya memuaskan, sehingga ia melaporkannya dalam surat kabarnya. Dari permulaan yang sederhana itu gagasan Sekolah Minggu disambut baik oleh banyak warga awam yang merasa sayang pada anak-anak yang akan jatuh ke dalam kejahatan kalau mereka tidak menerima bimbingan dalam iman Kristen dan dalam keterampilan membaca dan menulis. Boleh dikatakan bahwa Raikes berhasil mempertemukan waktu yang peka itu dengan gagasannya cocok dengan kebutuhan keadaan.
            Raikes sendiri bukanlah pemikir yang berteori tentang asas pendidikan. Ia seorang praktisi yang melihat penyakit sosial yang mengancam kewarasan masyarakat dan memprakarsai tindakan yang dapat mengatasi sebagian dari masalah tersebut.
            Walaupun sejumlah awam dan pendeta melibatkan diri dalam urusan Sekolah Minggu, namun pemimpin Gereja Inggris dan para penguasa merasa diri terancam oleh prakarsa untuk mendidik anak rakyat jelata. Kalau anak-anak ini sudah mampu membaca dan menulis, maka mereka akan tidak puas dengan penindasan yang merka alami setiap hari. Wakil kedua golongan ini pernah mendorong Perdana Mentri Pitt untuk mempersiapkan perundang-undangan yang akan melarang penyelenggaraan Sekolah Minggu beserta pendirian sekolah baru. Untunglah usaha ini gagal dan Sekolah Minggu menerima dukungan dari raja dan ratu Inggris sendiri.
            Raiekes sendiri tidak jarang mengambil bagian langsung dalam Sekolah Minggu. Ia mengunjungi sekolah dan kadang-kadang mengajar anak-anak dengan alat peraga dan dengan mengajukan pertanyaan yang memupuk pemikiran anak.
            Anak didik Sekolah Minggu pertama didik oleh seorang ibu di rumahnya. Raikes sendirilah yang membayar gajinya. Kurikulumnya terdidi atas pengetahuan Alkitab, pelajaran katekismus dan keterampilan membaca, menulis serta menghitung dalam taraf sederhana. Tetapi sebelum usaha mengajar itu dapat berbuah baik, anak-anak yang kebanyakan berakhlak buruk perlu belahar swadisiplin lebih dahulu. Kebaktian yang berlangsung di gedung gereja adalah bagian integral dari pengalaman belajar itu.
            Pada masa awal Sekolah Minggu para guru sendirilah yang menyediakan sumber-sumber pelajarannya, tetapi sesudah banyak Sekolah Minggu didirikan, buku pelajaran pun diterbitkan. Buku yang paling populer berjudul, Sahabat Bagi Anak Sekolah Minggu, yang berisi 120 lembar. Bagian pertama terdiri dari abjad, daftar kata dan kalimat pendek, seperti “Allah adalah Kasih”, “Tuhan semesta alam nama-Nya’. Kebanyakan isinya diambil dari Alkitab, yang mendidik anak bertindak bertanggung jawab kepada Tuhan dan sesamanya, dan tentunya sejarah penebusan umat manusia pun tidak dilalaikan. Di samping itu, terdapat sejumlah peribahasa yang berasal dari kebudayaan setempat.
            Pengunjung Sekolah Minggu terkesan dengan perubahan yang terjadi dalam diri anak didik. John Wesley mencatat betapa indahnya suara anak Sekolah Minggu tatkala mereka menyanyi bersama.
            Pada hari raya para pemimpin dan dermawan Sekolah Minggu tidak hanya melakukan perjamuan bagi anak didik, tetapi mereka juga melayani meja. Perjamuan ini, di samping memberi pengalaman baru kepada anak dan para pemimpin dan dermawan, juga kesempatan bagi mereka yang menyampaikan perasaannya kepada anak bahwa mereka berharga. Alhasil, swacitranya semakin positif. Mereka tidak lagi melihat dirinya sebagai endapan masyarakat yang tidak berharga.
            Ada tidak sifat utama dari gerakan Sekolah Minggu yang semula: pada pokoknya, Sekolah Minggu adalah gerakan kaum awam, meskipun gereja sebagai pribadi juga terlibat. Kedua, organisasinya cenderung hidup diluar struktur formal gereja. Dan ketiga, orang-orang yang terlibat didalamnya lebih menitikberatkan pelayanan mendidik anak daripada sinodenya. Dengan kata lain, gerakan Sekolah Minggu bersifat oikumenis, sebelum istilah itu dipakai secara umum di antara gereja-gereja.
            Sekolah Minggu bertumbuh pesat karena telah memenuhi kebutuhan mendasar yang tidak dipenuhi oleh gerja formal. Pada waktu Raikes meninggal, jumlah anak didik Sekolah Minggu di Inggris saja sudah melebihi 400.000 orang.
            Gagasan baik itu segera dibawa ke Amerika: Di sana pada tahun 1790 empat orang dari empat gereja yang sangat berbeda mendirikan Perserikatan Hari Pertama di kota Philadelphia. Sukses di Amerika ini lebih gemilang lagi.
            Untuk Sekolah Minggu pertama, bahan pelajaran cenderung berasal dari Inggris meskipun keadaan di Amerika jauh berbeda, khususnya karena di Inggris Sekolah Minggu melayani anak-anak yang menjadi korban Revolusi Industri, sedangkan di Amerika kebanyakan anak yang berasal dari kebudayaan daerah pertanian. Pada zaman tatkala jumlah besar penghuni pesisir daerah timur menyebrangi pegunungan Appalachian untuk menduduki bagian tengah Amerika, Sekolah Minggu menjadi salah satu lembaga utama yang turut melayani kebutuhan rohani dan naluri padara pendatang itu. Perserikatan Hari Pertama Amerika didirikan pada tahun 1830 dan bersemboyong mendirikan satu Sekolah Minggu dalam setiap pelosok di daerh “Lembah Mississippi”.
            Orang yang terlibat dalam Gerakan Sekolah Minggu itu memiliki semangat yang besar. Mereka sedang mengambil bagian dalam pelayanan yang mutlak penting. Mereka mendeirikan Sekolah Minggu, menjual buku-buku dan tidak jarang Sekolah Minggu yang mereka dirikan bertumbuh menjadi jemaat. Karena mereka haus akan persekuatuan orang-orang yang terlibat dalam pelayanan yang sama, maka Perserikatan Sekolah Minggu pun didirikan untuk setiap kabupaten, negara bagian dan untuk seluruh negeri. Masing-masing organisasi tersebut mengandalkan hasil-hasil dari sidang raya yang diadakan setahun sekali, dan sidang ini mendapat dukungan luar biasa. Di antara para pemimpin yang terlibat dalam sidang-sidang raya tersebut dapat disebutkan para pengusaha, walokota, gubernur, anggota DPR, bahkan presiden sendiri. Bahkan, Kongres pernah menghentikan pembicaraan untuk berbaris bersama dengan para utusan sidang raya nasional Sekolah Minggu.
            Semangat anak didik dan peserta Sekolah Minggu dipertinggi oleh nayanyian rohani yang dipakai. Mereka merasa diri sedang dalam gerakan yang bermakna, sehingga mereka ingin sekali untuk memuji Tuhan melalui musik. Banyak juga yang dipengaruhi oleh Kebangunan (Revivalism) yang amat kuat di Amerika Serikat pada abad ke- 19. Pemimpin Sekolah Minggu Amerika Serikat, sama seperti di Inggris, cenderung diambil dari kaum awam, karena gerakannnya sendiri bertumbuh diluar struktur formal gereja. Sama seperti di Inggris, gaya kerjanya pun bersifat oikumenis.
            Pada tahun 1872 sidang raya nasional mempelopori gagasan kurikulum Sekolah Minggu yang sama sekali baru, yaitu Seri Mata Pelajaran yang Seragam. Entah peserta didik adalah berumur enam tahun, atau peserta didik itu tinggal di kota atau di daerh pertanian, pada setiap hari minggu ia bersama dengann rekannya dari tempat yang jauh atau yang dekat akan memperlajari prikop yang sama dari Alkitab. Untuk pertama kalinya ada kesatuan dan keterlibatan dalam hal kurikulum Sekolah Minggu. Tiga tahun kemudian, sidang raya nasional itu diubah menjadi seidang raya internasional, karena ada juga seorang utusan dari Kanada. Sukses yang tidak sedikit dari Sekolah Minggu di Amerika pada abad pertamanya itu sangat ditentukan oleh kepemimpinan yang bersemangat yang hidup dalam diri seorang awam, bernama Benjamin Jacobs, meskipun ia lebih mengutamakan jumlah orang yang terlibat ketimbang penilaian kritis dari tolok ukur pedagogis dan terologis.
            Sejajar dengan prestasi gemilang Sekolah Minggu di Amerika harus pula dicatat ketiga kekurangannya: Sejak semula ia cenderung mngutamakan moralitas pribadi dan ketidak adilan sosial yang tampak dalam masyarakat; kedua, nilai-nilai daerah pertanian lebih berharga dai pada nilai-nilai kota; dan ketiga, teologi perseorangan dianggap lebih penting ketimbang teologi gereja, dalam arti Sekolah Minggu cenderung hidup berdampingan dengan gereja dari pada menjadi bagian integral dari gereja formal


SUMBER

ROBERT R. BOEHLKE. 2011. Sejarah Perkembangan Pendidikan Dan Praktek Pendidikan Agama Kristen. Jakarta: Gunung Mulia.